Ketika tanpa ucap harusnya kamu tahu perasaanku
Pagi itu di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung. Seperti hari-hari yang lalu, objek wisata Posong masih relatif sepi, tapi aku sangat menikmatinya, seakan belum ada kontaminasi ulah manusia. Hanya alam, aku..
dan kamu
Aku menggandeng tangan kananmu erat, menaiki bukit dengan berjalan kaki. Tidak pernah mau aku lepaskan tanganmu, untuk saat ini, sampai esok, karena aku harus kembali ke Jakarta
Kita duduk berdua di balkon beton yang mengahadap ke Sumbing dan Sindoro. Aku tahu kamu bukan tipe perempuan yang kedinginan lalu membutuhkan jaket yang disampirkan oleh si lelaki. Kamu unik, kamu akan memakaikan jaket itu sendiri. Itu sebabnya aku mencintai kamu. Bahkan aku sudah melihatmu sebagai masa depanku, kelak
“Kamu ikut ke Jakarta, please..”, aku membujukmu, sedikit memaksa
“Ngga bisa Fer, aku masih betah disini”, kamu membenarkan kunciran rambutmu yang lepas. Melihatmu lama adalah adiksi, aku mengalihkan pandanganku ke depan.
Aku tergelak
“Kamu udah bisa masak, bersih – bersih rumah, menjaga orangtua. Kamu udah bisa semua, bekal kamu udah cukup. Apalagi?”
Kamu udah kepalang sempurna untuk jadi istriku, Dinda
Tawamu berderai, apa salah aku kalau apa yang ada di dirimu membuatku mengucap Subhanallah berkali – kali? Yang membuatku menunggu begitu lama? Lantas kapan? Kapan kau akan siap memberikan jawaban itu?
“Aku akan disini aja,Fero. Sampai kembali”
Aku merenung. Kembali? Apa? Aku teringat setahun yang lalu aku ada disini dan menyatakan semua perasaanku, dan kau bilang akan belajar tapi tidak dapat berkomitmen. Yah, artinya aku harus menunggu. Dan aku buktikan sampai sekarang.
“Aku berharap aku kembali ke Jakarta nanti dengan berita baik untuk orangtuaku”
Kamu menggeleng pelan, dan tersenyum kecil. Kamu menunjukkan sesuatu, yang sedari tadi aku tidak pernah sadar akan kehadirannya.
“Aku menunggu mas Aji kembali”, kamu menunjukkan cincin indah di jari manis kirimu.