Fasih, aku menceritakan mimpi yang malam tadi ku alami.
Ada kamu disana, kuceritakan semuanya. Segalanya begitu jelas, berwarna, kamu sang pemburu Lucid Dream, pasti tahu, harusnya semua mimpi hanya hitam-putih.
Rasanya manis saat mengecup bibirmu, dan aku merasa begitu sesak saat kau memelukku begitu erat.
Aku melihatmu, ikut mendengarkan, tidak kalah antusiasnya dengan diriku. Kadang kutahan kalimat itu, hanya untuk melihatmu mengernyitkan dahimu, membalutmu dengan rasa penasaran.
Hanya untuk bisa menahanmu lebih lama, agar tetap disini sebagai wujud nyata.
Senja,saat tangan kita saling bertautan, dan menunggu dengan sabar sang Matahari berpamitan pulang, mengganti giliran dengan Bulan.
Oh ya, aku ingat saat itu yang kau ucapkan, dan masuk ke dalam mimpiku juga. “Aku selalu suka senja, kamu?”
Ragaku di sampingmu saat itu, namun pikiranku mengawang,menyunggingkan senyum tajam, membayangkan hari itu datang, tidak sadar aku berkata “Sama, aku juga.”
“Ada yang terbesit saat itu, saat aku terbangun, aku menangis tiada sebab, mimpi nyata yang kupikir awalnya bisa tercerna menjadi nyata.”
Ya, lagi, aku melihatmu, perubahan air mukamu. Senyum yang perlahan pudar dari wajahmu. Aku membalasmu dengan senyuman, ‘ingatkah hari itu, Sayang?’
Aku kehiilanganmu kala senja di bulan Agustus, saat kita sudah kepalang merangkai mimpi lebih jauh untuk hidup bersama di bulan Januari. Kamu ternyata memilihnya, menghapus aku di ceritamu.
Semakin kreatif mengemas rasanya, Ray. Keren. 😉