Aku sedang belajar untuk membenci.
Aku terlalu biasa meredam semua rasa itu, hingga terbiasa dan menjadi terasa semakin bias. Kadang aku selalu bertanya bagaimana bisa semua emosi dirasakan terlalu berlebihan, tangis yang meraung, rindu yang membuncah, tawa yang tergelak kencang, malu yang membuat pipi bersemu, takut yang memunculkan rasa kalut, amarah yang tergerak terlalu parah.
Aku sepertinya pernah merasakannya, namun sudah lama. Mungkin saat ini karena aku terlalu berkonsentrasi pada satu rasa, pada satu proses, satu pembelajaran.
Membenci.
Aku sedang belajar untuk membenci. Membenci orang-orang yang berlalu dari ceritaku di masa lalu. Iya, membenci.
Kata seseorang yang pernah aku temui, “semakin sedikit kamu mencintai orang-orang di sekitarmu, semakin sedikit perasaan kehilangan dan sedih saat mereka tidak ada.” Lalu aku memilih untuk membenci, melemparkan semua perasaan indah namun menyiksa yang selalu aku coba untuk aku hilangkan, dengan cara menahan, mengenang. Aku terlalu baal untuk bisa menahan.
Lalu…
Aku belajar untuk membenci. Menghalalkan setiap cara untuk melupakan setiap orang yang sudah menorehkan banyak kenangan selama ini, namun meninggalkanku saat semua sedang terasa begitu indah. Haha.. sepertinya aku salah menangkap peranku sendiri saat ini, sebagai manusia, yang seharusnya tidak pernah melulu diliputi benci.
Namun aku kepalang membenci. Aku terlanjur sedang belajar untuk membenci. Menumpahkan seluruh memori yang indah dalam cerita menjadi katarsis, menghancurkan segala benda yang mengingatkanku atas semuanya dengan destruktif.
Aku salah. Aku terlanjur sedang belajar untuk membenci.
Kekeliruanku menangkap rasa.
Kesalahanku menumpahkan asa.
Ketidakberdayaanku mengatur rasa kecewaku.
Kelemahanku meniadakan angan yang terlalu tinggi terhadapmu.
Aku selalu salah mengartikan cinta.
Dan..
Membenci
Aku terlanjur sedang belajar untuk membenci.
“semakin sedikit kamu mencintai orang-orang di sekitarmu, semakin sedikit perasaan kehilangan dan sedih saat mereka tidak ada.”
anaphora jelas bukan sekadar pengulangan kata saja ray, ada unsur lain yang membuat anaphora jadi berbeda.
dan untuk bagian itu, kamu harus bisa menambahkan ‘character/story development’, jadi ada semacam metamorfosa dari kalimat awal yg digunakan sebagai bentuk anaphoranya, sampai akhir cerita/prosa yang kamu buat,
contohnya bisa kamu lihat di senyata senja, sekuat kenangan yang membekas, kalau kamu udah ngeh dengan yg bagian itu, gak akan terlalu sulit buat yg serupa
yang ini sudah memakai anaphora, meskipun belum begitu kerasa banget. 😀
Iya nih mas, aku bener-bener baru mengenal jenis tulisan ini dan sama seperti belajar menulis Flash Fiction dan lainnya, semua ada prosesnya, heuheu..
Aku juga udah baca punya mas teguh dan juga masmo aku ngerasa ada karakter yang kuat disana tapi aku belum bisa memunculkannya di dua puisi anaphora aku yang terakhir. Aku tetap akan latihan, hup!!
Terima kasih yah mas teguh masukannya!!
Untuk latihan, bisa dicoba dengan menulis yang sederhana dulu. Dari kalimat yang biasa kita pakai dalam perbincangan.
ex:
Kamu serasa tak asing bagiku. Ketika mataku tepat berada segaris lurus dengan matamu. Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu.
Apakah aku mengenalmu?
Kamu serasa tak asing bagiku. Pernahkah pada satu masa kita bersama? Karena semakin kuat keinginanku mencari tahu mengenaimu. Begitu kuat keinginan itu hingga aku sepertinya sanggup melakukan apa pun agar itu terpenuhi.
~~dst
Semangat terus ya Ray! it was great when you gave a shot for this!
tapi apa jenis puisi anaphora ini akan selalu begini ya mas genrenya? melankolis mendayu dayu begini, heuheu