Aku menatapnya sekali lagi, memperhatikan kekurangannya. Hampir tidak ada.
Kita sudah bersahabat lebih dari 20 tahun, dan aku sudah menganggapnya saudari di jangka yang sama.
Tetapi kesempurnaannya menjadi boomerang baginya, dan aku sampai mati – matian menyenangkan hatinya.
Aku bahagia saat ini. Dikelilingi orang – orang yang cintanya aksi – reaksi, dipenuhi oleh orang – orang yang tidak pernah pamrih. Tetapi tampilan fisikku kurang, kadang aku sekilas menyangka bahwa rasa kasihanlah yang memenuhi perasaan mereka, namun langsung kuhapus pikiran jelek itu. Seperti itulah diriku.
Tapi bukan seperti itu sahabatku.
Sepertinya, semakin banyak dia ditinggalkan orang – orang, semakin berkilau dan sempurnalah dia. Hatinya remuk dan kebanyakan diredam olehnya. Remuk redam. Tetapi dia selalu terlihat cantik, selalu terlihat sempurna.
Namun dia tidak pernah bahagia.
Satu yang pernah aku ingat dari bibirnya saat itu semoga dia pergi, “karena sesempurnanya dirimu, kamu hanya butuh satu.. bahagia.”
Áku tidak pernah merasakan bahagia itu, bisiknya lirih
Kalimat terakhir sebelum dia mengakhiri dirinya sendiri dengan anggun…
Selamat tinggal.
Kok serem 😥
maaf :((((