Cemas berlebihan, lebih parahnya lagi, berkepanjangan. Aku ingat satu zona gelap terjadi di tahun yang baru berjalan 4 bulan ini. Bulan dua, pertama kalinya aku merasakan terasingkan. Terasingkan karena aksara, budaya dan bahasa yang berbeda. Padahal ini sudah tahun kedua, harusnya semua perbedaan menjadi mudah.
Aku sang minoritas. Ini juga bukan kali pertama terjadi. Aku selalu menjadi minoritas, tetapi aku diterima dan aku mampu meresap ke lingkungan mereka. Tapi, ini beda. Padahal kami berada di benua yang sama, kami berada di kultur sama. Anehnya aku merasa paling terasingkan di tempat seperti ini.
Matahari terbenam sudah bukan hal yang aku nikmati lagi. Aku panik, badanku gemetar dan nafasku sesak. Berkerja dengan pikiran melayang ke mana – mana, aku ingin pulang saja. Pulang ke rumah.
***
Akhirnya aku kembali ke rumah. Dengan waktu yang terbatas. Tapi, aku mampu berpikir jernih. Aku dalam proses penyembuhan, penyembuhan pikiranku. Berdamai dengan ketidaksamaan, berdamai dengan perbedaan yang mengasingkan. Berdamai dengan diri sendiri.
Lalu, sampai akhirnya aku siap untuk kembali.
***
Aku kembali dari rumah.
Aku kembali untuk kembali, dan aku baik – baik saja.